FORTIFIKASI VITAMIN A DALAM MINYAK
GORENG CURAH SEBAGAI UPAYA INTERVENSI
KURANG VITAMIN A (KVA)
Dewi Ernawati
ABSTRAK
Kurang Vitamin A
(KVA) merupakan salah satu permasalahan gizi utama di Indonesia. Pemerintah
Indonesia telah mengupayakan berbagai program untuk mengatasi kurang vitamin A
terutama pada anak-anak, antara lain melalui program suplementasi kapsul
vitamin A untuk anak balita setiap 6 bulan, penganekaragaman makanan,
pemanfaatan pekarangan, dan fortifikasi. Salah satu bahan pangan yang banyak
digunakan masyarakat dan berpeluang untuk difortifikasi adalah minyak goreng.
Minyak goreng merupakan minyak yang konsumsinya di dunia cenderung meningkat,
khususnya dikalangan masyarakat ekonomi lemah. Konsumsi minyak goreng di
Indonesia hampir seluruhnya berasal dari minyak kelapa dan minyak kelapa
sawit.Minyak kelapa sawit yang beredar di pasaran terbagi menjadi dua jenis,
yaitu yang dijual dengan merk (brand)
dan tidak (curah). Sekitar 70-75%
minyak goreng yang diproduksi dan beredar di Indonesia adalah minyak curah.
Selain itu, 77,5% rumah tangga di Indonesia menggunakan minyak curah untuk
menggoreng. Masyarakat lebih memilih untuk membeli minyak goreng curah karena
harganya yang lebih murah. Atas dasar pertimbangan tersebut maka minyak goreng
curah sangat berpeluang untuk difortifikasi dengan vitamin A.
Kata Kunci : Fortifikasi, Minyak Goreng Curah,
Intervensi, Kurang Vitamin A (KVA)
PENDAHULUAN
Meskipun
Indonesia dinyatakan telah bebas dari Xerofthalmia,
namun Indonesia masih harus menghadapi masalah Kurang Vitamin A (KVA) terutama
bagi kelompok yang rentan seperti anak balita dan ibu hamil (Achadi dkk
2010:256). Kurang Vitamin A akan mempengaruhi berbagai fungsi penting tubuh,
antara lain sistem imunitas, penglihatan, sistem reproduksi dan pembelahan sel.Pemerintah
Indonesia telah mengupayakan berbagai program untuk mengatasi kurang vitamin A
terutama pada anak-anak, antara lain melalui program suplementasi kapsul
vitamin A untuk anak balita setiap 6 bulan, penganekaragaman makanan,
pemanfaatan pekarangan, dan fortifikasi(Achadi dkk 2010:256).
Dari
berbagai program tersebut khususnya suplementasi kapsul vitamin A telah
berhasil membuat Indonesia bebas dari Xerofthalmia
dan menurunkan kematian anak. Namun, selain dampak positif, program
suplementasi vitamin A memperlihatkan berbagai implikasi yang dapat mengancam
kelestarian program. Pertama, suplementasi memerlukan kesinambungan pengadaan dan penyelenggaraan. Kedua,
suplementasi merupakan program yang cukup mahal. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan perkuatan program laindan yang bersifat jangka panjang mengingat
perubahan pola konsumsi merupakan program jangka panjang. Namun, hal tersebut
tidak mudah dilaksanakan, bukan saja karena perubahan perilaku merupakan proses
yang lama, tetapi juga karena makanan yang kaya vitamin A tergolong mahal. Kini
pemerintah Indonesia mempertimbangkan fortifikasi vitamin A di dalam bahan makanan
karena dianggap lebih efektif daripada
suplementasi(Achadi dkk 2010:256).
Produk
pangan yang difortifikasi harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
pertama, banyak dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat miskin. Kedua,
produsen yang memproduksi dan mengolah bahan makanan tersebut terbatas
jumlahnya, dan ketiga teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih
tersedia. Selain itu, setelah difortifikasi bahan pangan tidak berubah rasa,
warna, dan konsistensinya, serta tetap aman untuk dikonsumsi dan tidak
membahayakan kesehatan (Martianto dkk 2009:83). Salah satu bahan pangan yang
banyak digunakan masyarakat dan berpeluang untuk difortifikasi adalah minyak
goreng. Minyak goreng merupakan minyak yang konsumsinya di dunia cenderung
meningkat, khususnya dikalangan masyarakat ekonomi lemah. Konsumsi minyak
goreng di Indonesia hampir seluruhnya berasal dari minyak kelapa dan minyak
kelapa sawit. Namun minyak kelapa sudak tidak lagi dipakai luas oleh masyarakat(Martianto
dkk 2009:83).
Minyak
kelapa sawit yang beredar di pasaran terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang
dijual dengan merk (brand) dan tidak
(curah). Sekitar 70-75% minyak goreng
yang diproduksi dan beredar di Indonesia adalah minyak curah. Selain itu, 77,5%
rumah tangga di Indonesia menggunakan minyak curah untuk menggoreng. Masyarakat
lebih memilih untuk membeli minyak goreng curah karena harganya yang lebih
murah. Atas dasar pertimbangan tersebut maka minyak goreng curah sangat
berpeluang untuk difortifikasi dengan vitamin A(Martianto dkk 2009:83).
Kekurangan
vitamin A pada anak laki-laki dananak perempuan terlihat berbeda, tetapi secara
statistik tidak bermakna. Sementara itu, proporsi KVA ditemukan lebih rendah
pada anak yang berumur lebih dari 9 tahun daripada anak yang lebih muda. Hal
tersebut mungkin dapat dijelaskan sehubungan dengan status morbiditas yang
terendah pada anak yang berumur lebih dari 9 tahun(Achadi dkk 2010:260). Diasumsikan
bahwa status sosial ekonomi yang lebih baik berhubungan dengan prevalensi KVA
yang lebih rendah, karena pola makan yang lebih baik. Namun berdasarkan
penelitian, prevalensi KVA lebih rendah pada anak dengan pendidikan ibu dan
ayah yang lebih tinggi, walaupun perbedaan tersebut tidak bermakna. Kebutuhan
zat gizi pada anak menderita penyakit infeksi akan meningkat dan apabila tidak
dipenuhi akan berakibat pada penurunan status gizi. Berdasarkan penelitian
proporsi anak dengan KVA lenih tinggi pada anak yang pada bulan sebelumnya
menderita sakit, tetapi perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna.
Kekurangan
vitamin A sering dihubungkan dengan berbagai satus gizi yang lain, seperti KVA
dianggap faktor penyebab anemia bersama defisiensi besi, asam folat, vitamin
B12, dan penyakit infeksi kronis seperti malaria. Program fortifikasi
seharusnya menjadi program andalan untuk mengatasi masalah KVA karea telah
terbukti efektivitas di berbagai negara. Di Eropa, rata-rata 20-50 % suplai
vitamin A berasal dari makanan yang difortifikasi dengan vitamin. Fortifikasi
margarin dan makanan lainnya sudah dimulai lebih dari 7 dekade yang lalu.
Konsensus informal Technical Consultation
yang diprakarsai oleh UNICEF bekerjasama dengan MI, WHO, CIDA, dan USAID pada
bulan Desember 1997, menjanjikan bahwa fortifikasi memberikan harapan yang
besar dalam mengatasi KVA, seperti statement yang dikeluarkannya: Vitamin A fortification is a central
strategy for vitamin A(Achadi dkk 2010:261). .
PEMBAHASAN
VITAMIN A: APA DAN APA DAMPAK
KEKURANGANNYA
Vitamin A dalam Perspektif Gizi
Vitamin A adalah vitamin larut lemak
yang pertama ditemukan. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang
menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin A karotenoid yang mempunyai
aktivitas biologik sebagai retinol (Almatsier 2001:153). Vitamin A adalah suatu
kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam
makanan biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam
lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk
ikatan kimia aktif, yaitu: retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan
asam retinoat (bentuk asam). Retinol bila dioksidasi berubah menjadi retinal
dan retinal dapat kembali direduksi menjadi retinol. Selanjutnya, retinal dapat
dioksidasi menjadi asam retinoat(Almatsier 2001:155-156).
Vitamin
A tahan terhadap panas, cahaya, dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam
dan oksidasi. Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu
tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A, begitupun oksidasi yang
terjadi pada minyak yang tengik. Pengeringan buah di matahari dan cara
dehidrasi lain menyebabkan kehilangan sebagian dari vitamin A. Ketersediaan
biologik vitamin A meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain.
Bentuk
aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani. Pangan nabati mengandung
karotenoid yang merupakan prekursor (provitamin) vitamin A. Di antara ratusan
karotenoid yang terdapat di alam, hanya bentuk alfa, beta, dan gama serta
kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Beta- karoten adalah bentuk
provitamin A paling aktif, yang terdiri atas dua molekul retinol yang saling
berkaitan. Karotenoid terdapat di dalam kloroplas tanaman dan berperan sebagai
katalisator dalam fotosintesis yang dilakukan oleh klorofil. Oleh karena itu,
kerotenoid paling banyak terdapat dalam sayuran berwarna hijau tua(Almatsier
2001:156).
Dampak Kekurangan Vitamin A
Seperti halnya defisiensi zat gizi
mikro lainnya, defisiensi vitamin A akan berdampak pada penurunan kualitas
sumber daya manusia dan merupakan penyebab terbesar kasus morbiditas dan
mortalitas pada anak balita di beberapa negara berkembang. Selain itu,
defisiensi vitamin A dapat berdampak pada peningkatan risiko kebutaan (Dwiyanti
dkk 2013:74).
Kekurangan
(defisiensi) vitamin A terutama terdapat pada anak-anak balita. Tanda-tanda
kekurangan terlihat bila simpanan tubuh habis terpakai. Kekurangan vitamin A
dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan
sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan
yang meningkat, ataupun karena gnagguan pada konversi karoten menjadi vitamin
A. Kekurangan vitamin Asekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi
Protein (KEP), penyakit hati, alfabeta-lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi
karena kekurangan asam empedu. Kekurangan vitamin A banyak terdapat di
negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, karena makanan kaya vitamin A
pada umumnya mahal harganya(Almatsier 2001:163).
1. Buta
senja
Salah satu tanda awal kekurangan vitamin A adalah buta
senja (niktalopia), yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari cahaya
terang ke cahaya samar-samar/senja, seperti memasuki kamar gelap dari kamar
terang. Konsumsi vitamin A yang tidak cukup menyebabkan simpanan dalam tubuh
menipis, sehingga kadar vitamin A darah menurun yang berakibat vitamin A tidak
cukup diperoleh retina mata untuk membentuk pigmen penglihatan rodopsin.
1. Perubahan
pada mata
Kornea mata terpengaruh secara dini oleh kekurangan
viatmin A. Kelenjar air mata tidak mampu mengeluarkan air mata sehingga terjadi
pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Ini diikuti oleh tanda-tanda:
atrofi kelenjar mata, keratinisasi konjungtiva (selaput yang melapisi permukaan
bagian dalam kelopak mata dan bola mata), pmburaman, peleasan sel-sel epitel
kornea yang akhirnya berakibat melunaknya dan pecahnay kornea. Mata terkena
infeksi, dan terjadi perdarahan. Gejala-gejala ini dalam bentuk ringan
dinamakan serosis konjungtiva, yaitu konjungtiva menjadi
kering, bercak Bitot (disebut Bitot’s
spot berdasarkan nama dokter Prancis
yang pertama menemukan), yaitu berupa bercak putih keabu-abuan pada
konjungtiva. Dalam bentuk sedang dinamakan xerosis kornea, yaitu kornea menjadi
kering dan kehilangan kejernihannya. Tahap akhir adalah keratomalasia, di mana
kornea menjadi lunak dan bisa pecahyang menyebabkan kebutaan total.
2. Infeksi
Fungsi kekebalan tubuh menurun pada kekurangan
vitamin A, sehngga mudah terserang infeksi. Di samping itu lapisan sel yang
menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan
lendir, sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau bakteri atau virus dan
menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Bila terjadi pada permukaan dinding
usus akan menyababkan diare. Perubahan pada permukaan saluran kemih dan kelamin
dapat menimbulkan infeksi pada ginjal dan kantung kemih, serta vagina.
Perubahan ini dapat pula meningkatkan endapan kalsium yang dapat menyebabkan
batu ginjal dan gangguan kantung kemih. Kekurangan vitamin A pada anak-anak di
samping itu dapat menyebabkan komplikasi pada campak yang dapat menyebabkan
kematian. Vitamin A dinamakan juga vitamin anti-infeksi.
3. Perubahan
pada kulit
Kulit menjadi kering dan kasar. Folikel rambut
menjadi kasar, mengeras dan mengalami keratinisasi yang dinamakan
hiperkeratosis folikular. Mula-mula terkena lengan dan paha, kemudian dapat
menyebar ke seluruh tubuh. Asam retinoat sering diusapkan ke kulit untuk
menghilangkan kerutan kulit, jerawat, dan kelainan kulit lain.
4. Gangguan
pertumbuhan
Kekurangan vitamin A menghambat pertumbuhan sel-sel,
termasuk sel-sel tulang. Fungsi sel-sel yang membentuk email pada gigi
terganggu dan terjadi atrofi sel-sel yang membentuk dentin, sehingga gigi mudah
rusak.
FORTIFIKASI VITAMIN A DALAM MINYAK
GORENG CURAH
Minyak
goreng diidentifikasi sebagai vehicle
yang dapat membawa vitamin A dengan berbagai pertimbangan. Pertama, sebagian
besar masakan Indonesia menggunakan minyak goreng yang termasuk jenis masakan
yang paling digemari di Indonesia. kedua, produksi minyak goreng kebanyakan
tersentralisasi. Ketiga, vitamin A larut dalam lemak sehingga dapat
terdistribusi secara merata dalam minyak goreng. Berbagai penelitian
menunjukkan efektivitas minyak kelapa sawit sebagai kendaraan vitamin A yang
baik.
Efektifitas
program fortifikasi minyak dengan vitamin A (minyak VITA) terhadap perubahan
status vitamin A anak sekolah harus memenuhi paling tidak dua syarat, yaitu
konsumsi dalam jumlah dan dalam waktu yang cukup lama untuk memperbaiki status
vitamin A di dalam darah. Untuk mengetahui konsumsi minyak VITA perlu diketahui
ketersediaan minyak VITA dan tingkat penggunaan dan besar konsumsi minyak VITA
tersebut di tingkat rumah tangga, sehingga dapat diperkirakan besar konsumsi
minyak per anggota rumah tangga(Achadi dkk 2010:260).
Sifat
vitamin A sangat mudah dioksidasi, terutama jika dipengaruhi oleh cahaya, sinar
matahari atau cahaya buatan. Vitamin A tidak stabil jika ada asam mineral
tetapi stabil dalam basa. Bentuk vitamin A yang ditambahkan ke dalam produk
makanan dapat mempengaruhi kestabilannya dan vitamin A dalam bentuk butiran
kecil lebih stabil daripada yang ditambahkan dalam bentuk cair. Butiran kecil
distabilkan lapisan pelindung. Jika pelindung ini rusak karena basah oleh air,
kestabilan vitamin A berkurang (Astuti dkk 2014:157).
Pada
saat proses penggorengan, minyak goreng terpapar langsung oleh oksigen.
Oksidasi terjadi karena adanya reaksi antara oksigen dari udara dengan lemak di
dalam penggorengan. Proses oksidasi dapat terjadi selama suhu kamar maupun
selama proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Beberapa produk dari reaksi
oksidasi akan menguap, sedangkan sisanya masih berada di dalam minyak dan bisa mempercepat oksidasi lemak
lebih lanjut. Stabilitas minyak akan menurun akibat semakin tidak jenuhnya
lemak yang terkandung, semakin lama waktu penggorengan dan semakin luasnya
permukaan yang terpapar udara.
Stabilitas
vitamin A dalam minyak goreng adalah hal yang sangat penting untuk diketahui.
Paparan suhu, cahaya, dan oksigen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
stabilitas vitamin A(Martianto dkk 2009:84). Cara penggorengan yang dilakukan
oleh masyarakat Indonesia adalah cara penggorengan biasa yang memungkinkan
minyak goreng terpapar dengan cahaya dan oksigen. Selain itu, penggorengan yang
dilakukan berulang-ulang dengan menggunakan minyak yang sama sering dilakukan
oleh masyarakat.
Perbedaan
yang nyata antara tiap penggorengan disebabkan oleh adanya proses kenaikan suhu
pada saat pemanasan minyak di setiap penggorengan. Selain itu, terjadi peurunan
suhu pada saat jeda waktu antara penggorengan kedua ke penggorengan ketiga. Kecepatan
oksidasi dipengaruhi oleh suhu. Proses turun naiknya suhu ini akan menyebabkan
minyak goreng dan komponen yang terdapat di dalamnya teroksidasi lebih cepat.
Oksidasi vitamin A akan lebih cepat terjadi karena adanya oksidasi minyak
goreng.
KONTRIBUSI VITAMIN A DARI MINYAK
FORTIFIKASI
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis pangan dan pengulangan penggorengan tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan vitamin A per 100 gram produk gorengan.
Minyak goreng curah fortifikasi memberikan kontribusi sebesar 17,87%-55,62% per
100 gram produk gorengan terhadap Angka Kecukupan Vitamin A per hari untuk anak
usia 7-9 tahun. Dari hasil penelitian terdapat kecenderungan kontribusi vitamin
A terbesar adalah pada produk goreng hasil penggorengan pertama. Hal ini
disebabkan pada penggorengan pertama vitamin A pada minyak goreng jumlahnya
lebih tinggi dari pada minyak yang digunakan pada penggorengan berikutnya
(kedua dan ketiga).
Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa lama konsumsi minyak VITA memperlihatkan
hasil yang berbeda terhadap perubahan status vitamin A. Pada kelompok yang
mengkonsumsi minyak VITA kurang dari 12 minggu, prevalensi KVA bahkan cenderung
meningkat. Pada yang mengkonsumsi lebih dari 12 minggu, prevalensi KVA
menururun hampir separuh. Selain itu dari hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa lama konsumsi minyak fortifikasi VITA ternyata membedakan perubahan kadar
vitamin A serum. Prevalensi KVA (< 20 μg) turun hampir separuhnya dari 46,9%
menjadi 26,6% pada kelompok anak yang mengkonsumsi vitamin A selama lebih dari
12 minggu, anak yang mengkonsumsi selama 12 minggu atau kurang tidak mengalami
penurunan bahkan terjadi kenaikan (dari 37,1% menjadi 45,4%)(Achadi dkk
2010:259).
KESIMPULAN
Efektifitas
program fortifikasi minyak dengan vitamin A (minyak VITA) terhadap perubahan
status vitamin A anak sekolah harus memenuhi paling tidak dua syarat, yaitu
konsumsi dalam jumlah dan dalam waktu yang cukup lama untuk memperbaiki status
vitamin A di dalam darah. Stabilitas vitamin A dalam minyak goreng adalah hal
yang sangat penting untuk diketahui. Paparan suhu, cahaya, dan oksigen
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas vitamin A. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis pangan dan pengulangan penggorengan tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan vitamin A per 100 gram produk gorengan.
Minyak goreng curah fortifikasi memberikan kontribusi sebesar 17,87%-55,62% per
100 gram produk gorengan terhadap Angka Kecukupan Vitamin A per hari untuk anak
usia 7-9 tahun. Dari hasil penelitian terdapat kecenderungan kontribusi vitamin
A terbesar adalah pada produk goreng hasil penggorengan pertama. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Endang Achadi dkk menunjukkan bahwa lama
konsumsi minyak VITA memperlihatkan hasil yang berbeda terhadap perubahan
status vitamin A. Pada kelompok yang mengkonsumsi minyak VITA kurang dari 12
minggu, prevalensi KVA bahkan cenderung meningkat. Pada yang mengkonsumsi lebih
dari 12 minggu, prevalensi KVA menururun hampir separuh.
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Endang dkk. 2010. Efektivitas
Program Fortifikasi Minyak Goreng dengan Vitamin A terhadap Status Gizi Anak
Sekolah di Kota Makasar. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vol. 4, No. 6: 255-261
Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar
Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Astuti, Rahayu, Siti Aminah dan Agustin
Syamsianah. 2014. Komposisi Zat Gizi Tempe yang Difortifikasi Zat Besi dan
Vitamin A pada Tempe Mentah dan Matang. Agritech,
Vol. 34, No. 2: 151-159
Martianto, Drajat,Sri Anna Marliyati dan
Aini Aqsa Arafah. 2009. Retensi Vitamin A padanMinyak Goreng Curah yang
Difortifikasi Vitamin A dan Produk Gorengannya. J. Teknol. Dan Industri Pangan, Vol. XX No. 2: 83-89
Dwiyanti, Hidayah dkk. 2013. Efek Pemberian
Gula Kelapa yang Diperkaya Minyak Sawit Merah terhadap Peningkatan Berat Badan
dan Kadar Retinol Serum Tikus Defisiensi Vitamin A. Penelitian Gizi dan
Makanan, Vol. 36(1): 73-81